Dalam
sejarah internasional dan nasional, gerakan kaum intelektual (mahasiswa) selalu
mendapat porsi besar di hati masyarakat. Kedigdayaan mereka menggulung
kediktatoran rezim diiringi dengan gerakan moralnya senantiasa menyejukkan hati
rakyat yang haus akan perubahan sosial dan ekonomi. Gerakan mahasiswa bagikan
resi yang turun gunung, siap membasmi “hama” masyarakat atau laksana Sheerif
membawakan api kehancuran bagi siapa yang mengganggu masyarakat.
|
Ucapan
tokoh di atas (Arif Budiman) tidaklah berlebihan. Gerakan mahasiswa merupakan
aktifitas mahasiswa dalam rangka memerankan fungsinya sebagai agent of
change, agent of social control, dan agent of iron stock.
Gerakan ini telah beberapa kali membuktikan
efektivitasnya dalam menumbangkan sebuah rezim. Menarik untuk kembali membuka
lembaran sejarah gerakan mahasiswa tahun 1966 yang berhasil melibatkan semua
komponen mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) dan kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) beserta elemen lainnya
yang otoriter, refrastif dan tidak berpihak kepada rakyat. Kalau itu
pemerintahan Oerde Lama mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak berpihak
kepada rakyat, pemerintah menaikkan harga-harga barang, inflasi ketika mencapai
650 % sebuah angka yang cukup fantastis dipereparah lagi dengan ketidak tegasan
pemerintah dalam menumpas ormas-ormas pemberontakan G 30/S PKI 1965.
Ketika itu mahasiswa dan elemen lainnya menuntut
pemerintah tentang tiga hal yang lebih dikenal dengan tiga Tuntutan Rakyat
(Tritura) yakni turunkan harga, bubarkan kabinet dwikora, bubarkan PKI dan
ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Perjuangan ini membuahkan hasil dengan
turunnya Sukarno dari jabatan sebagai Presiden seumur hidup setelah sebelumnya
Sukarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang akhir-akhir
ini debateble.
Awalnya banyak yang menyangsikan efektivitas gerakan
mahasiswa ini, apalagi saat itu di tubuh militer sendiri sedang terjadi
perpecahan. Sukarno akhirnya tumbang kemudian Suharto dengan Supersemar mampu
mengendalikan keadaan. Negara dalam keadaan vacuum of power. Prestasi
Suharto mengendalikan keadaan dan karena negara dalam keadaan vacuum of power
menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara saat itu mengangkat Suharto
sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia dengan tugas menyiapkan pemilihan
umum (pemilu) untuk pemerintahan baru yang efektif, responsive dan legitimate.
Ada dua agenda pokok yang diamanahkan ke pundak sang Presiden yakni menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik.
Untuk membentuk pemerintahan yang efektif, responsif
dan legitimate dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi dan politik
pemerintah Orde Baru melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang akhirnya memilih
Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Perjalanan pemerintahan Suharto
(Orde Baru) dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (repelita) dan Trickle
Down Effek yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada awalnya terbukti mampu meningkatkan taraf hidup
rakyat, pembangunan di segala bidang, dan mampu menjadikan bangsa Indonesia
sebagai negara yang berswasembada beras. Dalam menjalankan pemerintahannya
terutama pertengahan 70-an Suharto mulai menuai kritik dari mahasiswa dan
masyarakat oleh KKN yang dipelopori keluarga cendana (baca: Suharto). Peristiwa
ini lebih dikenal dengan nama tragedi Malari, salah satu tokohnya adalah
Hariman Siregar.
Gerakan mahasiswa terus berlanjut sampai akhiranya
pemerintah Orde Baru mengeluarkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK) ketika
Daud Yoesoef menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan. Mulai saat itu
gerakan mahasiswa menurun masifitasnya karena pemerintah semakin otoriter,
refresif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh
mahasiswa. Beberapa aksi mahasiswa dan penentang kebijakan pemerintah selalu
dikaitkan, hubungan-hubungan bahwa aksi yang dilakukan ditunggangi oleh pihak
tertentu bahkan yang lebih ekstem lagi disebut-sebut sebagai PKI. Hampir
seluruh kegiatan mahasiswa dicurigai, diteror, dan ditangkap oleh aparat
antek-antek pemerintah di kampus (baca: rektor) yang sedikit banyak berdampak
pada masifitas gerakan mahasiswa.
Tantangan ini tidak menjadikan mahasiswa ciut, bahkan
gerakan aksi demonstrasi terus berlanjut walaupun dalam skala kecil pada
akhirnya kekecewaan ini menggumpal aksi demi aksi hingga momentum Mei 1998
terjadi, dimana mahasiswa sekali lagi membuktikan efektivitasnya mendorong
Suharto lengser keprabon kemudian secara ‘konstitusional’ mengangkat
Habibie sebagai Presiden untuk menakhodai pemerintahan transisi. Aksi penolakan
terhadap Habibie cukup kuat. Fragmentasi di tubuh mahasiswa di tataran
mahasiswa berlanjut. Mahasiswa dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang
menyerukan reformasi total menolak Habibie karena Habibie merupakan bagian Orde
Baru, orde yang memerintah Indonesia secara otoriter lebih dari 32 tahun
lamanya.
KKN Baru
Setelah melalui pemilihan umum (pemilu) 1999 yang
menurut beberapa pengamat cukup demokratis bahkan ada yang mengatakan sebagai
pemilu terdemokratis setelah pemilu 1955. Hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa
PDI Perjuangan pimpinan Megawati Sukarno Putri unggul dibandingkan partai
lainnya yakni lebih kurang 30 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Logika umum, seharusnya Megawati menjadi Presiden RI saat itu karena partainya
memiliki suara lebih besar dibandingkan partai lainnya. Amien Rais yang
menggalang poros tengah dan partai Golkar membuat permainan cantik, sehingga
Gus Dur terpilih menjadi Presiden sedangkan Megawati harus puas sebagai wakil
Presiden.
Pada awal terpilihnya Gus-Dur masyarakat menaruh
harapan besar, kabinet akomodatif dibentuk, umat Islam bersuka ria. Namun
kemudian yang terjadi Gus Dur tidak mampu memenuhi harapan masyarakat, bukannya
menjalankan reformasi total, korupsi, kolusi nepotisme (KKN) baru marak,
traveling keliling dunia menjadi hobbi dengan alasan yang kurang logis terhadap
kondisi keuangan bangsat saat itu. Puncaknya adalah kasus Buloggate, Bruneigate
dan Aryantigate yang memaksa mahasiswa untuk terus bergerak mendesak Majelis
Permusyawaratan (MPR) menggelar sidang Istimewa buntutnya adalah Gus Dur lengser
keprabon tepatnya tahun 2001. Turunnya Gus Dur digantikan oleh Megawati dan
Hamzah Haz masing-masing sebagai Presiden dan wakil presiden.
Tak Berpihak
Pemerintahan Megawati-Hamzah Haz kini telah
berlangsung lebih kurang 1,5 tahun, tapi disayangkan belum mampu memberikan
tanda-tanda harapan baik buat rakyat. Realitas menunjukan Mega-Hamzah beberapa
kali membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, wong cilik,
yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia bahkan pemilihnya dalam pemilu
1999 lalu. Kebijakan Mega-Hamzah membiakan para obligor kakap bebas
berkeliaran, konglomerat hitam, koruptor dan penjahat Hak Azazi Manusia (HAM)
seakan tak tersentuh hukum. Bahkan adanya kecendrungan menciptakan KKN baru
sepertinya semakin membuat mahasiswa dan rakyat muak dan kecewa terhadap
pemerintah. Ditambah lagi kini kebijakan pemerintah yang sangat tidak
bernurani, tidak populis, dan mencekik leher rakyat.
Kebijakan pemerintah memberikan release and
discharge (R&D) kepada obligor kakap dan konglemerat hitam, divestasi
Indosat, penaikan harga BBM, TDL dan telpon pada saat bersamaan 1 Januari 2003
semakin melengkapi penderitaan rakyat Indonesia. Melihat kebijakan ini mahasiswa
kembali bergerak menuntut keadilan, pencabutan berbagai kenaikan dimaksud.
Pemerintah berdalih melakukannya guna menutupi beban APBN 2003 yang desfisit
36,6 Triliun. Sisi lain pemerintah membiarkan penghutang BLBI yang membebani
APBN kerana beban obligasi hingga 60 triliun rupiah bebas, tersenyum puas
karena mampu mengalihkan beban (baca: obligasi BLBI) kepada rakyat, pencabutan
subsidi, dan penaikan pajak sesuai dengan nasihat IMF dan World Bank. Tak pelak
pengangguran meningkat, kemiskian menigkat, kriminalitas meningkat di hampir
seluruh penjuru tanah air.
Tragedi demi tragedi terjadi seputar Gerakan Mahasiswa
2003. Dua orang mahasiswa aktivitas HMI Cabang Karawang ditembak aparat dengan
peluru tajam, beberapa daerah bentrok mahasiswa-aparat terjadi. Intinya aparat
kembali refresif menerapkan jurus-jurus lama dengan menuding gerakan mahasiswa
ditunggangi oleh kelompok radikal. Haris Rulsi Moti, Ketua KPP PRD menyebutkan
diperlukan gerakan radikal untuk melawan pemerintah yang keras kepala dan tak
bernurani seperti saat ini.
Alhamdulillah, 21 Januari 2003 pukul 00.00 WIB
pemerintah merevisi kenaikan harga BBM (baca: minyak diesel, solar, dan minyak
tanah) hingga rerata 200 rupiah/liter seiring dengan menaiknya harga minyak
dunia hingga 30 dollar AS/barel dari sebelumnya 22 dollar AS/barela dalam APBN
2003 (Kompas, 21/12/2002). Setelah hari sebelumnya pemerintah telah
merevisi kenaikan tarif dasar telpon. Kemudian timbul pertanyaan haruskah
gerakan mahasiswa berlanjut setelah sebagian tuntutan dipenuhi? Bagaimana
menjaga efektivitas Gerakan mahasiswa?.
Menurut Baktiar
(Pelita 8/1/2003) setidaknya ada tiga pekerjaan rumah yang harus
dilakukan oleh mahasiswa Indonesia untuk menjaga efektivitas gerakannya. Pertama,
membangun perluasan jaringan dan komunikasi sebagai upaya memudahkan
penggelindingan tuntutan yang digelorakan. Gerakan yang tidak memiliki jaringan
di tingkat nasional atau internasional akan kesulitan menganalisir dan
menguasai isu yang dihembuskan. Kedua, menyiapkan perbekalan finansial
yang cukup memadai untuk modal hidup dan pengembangan diri. Kekuatan finansial
perlu diperhatikan oleh mahasiswa karena tanpa finansial sulit rasanya
membangun militantasi murni. Aktifis yang lemah imam dan finansial akan mudah
dibayar oleh pemilik modal. Dan ketiga, keseimbangan unsur fikir (fikriyah),
jasmani (jasadiyah) dan rohani (ruhiyyah).
Ketiga keseimbangan itu merupakan pencaran ideal dalam
setiap pembangunan manusia yang mampu memanajemen sebuah gerakan yang dibangun
sebagaimana sebagaimana yang dicontohkan Ali bin Abi Thalib, Thariq bin Ziyad
pada saat masih muda.***