Kebudayaan
lokal menunjuk pada ciri-ciri mandiri suatu etnik dan/atau daerah tertentu.
Sedangkan kebudayaan nasional terbentuk karena pengaruh dari dalam diri bangsa
itu sendiri maupun dari luar. Kalau kata globalisasi paralel (bukan identik)
dengan mondialisasi atau internasionalisasi, maka yang sifatnya urutan (tingkatan)
adalah internasional (global, mondial), regional, nasional, dan lokal.
Propaganda
Barat mengatakan bahwa dunia sekarang adalah global village (desa dunia)
atau borderless states (negara-negara tanpa batas), nation states
(negara-negara bangsa) pun digeser oleh multinational corporations
(perusahaan-perusahaan multinasional). Dalam menghadapi penetrasi adab-budaya
Barat yang menyusup ke mana-mana, diperlukan strategi kebudayaan nasional-lokal
yang penuh perhitungan. Strategi budaya yang baik, lantas apa lagi kalau tidak
terdiri dari sinergi (dan harmoni) antara tradisi dari dalam dengan modernisasi
dari luar? Elite bangsa Indonesia
umumnya, tidakkah cukup adaptif (menyesuaikan diri) dan bahkan imitatif
(meniru) terhadap berbagai pengaruh yang datangnya hampir dari mana saja?
Dalam
mencari pemecahan masalah, jangan lari darinya melainkan masuk dan selesaikan
dari dalamnya. Kalau lari (atau menghindari) dari masalah, masalahnya
sebetulnya tetap ada. Tantangan sekarang adalah, bagaimana mencari solusi (jalan
keluar) bagi multikrisis (krisis multidimensi) yang sudah puluhan tahun menimpa
bangsa Indonesia .
Dari multikrisis tersebut, yang paling parah dari yang parah-parah adalah
justru kualitas mental, moral, integritas (karakter) sementara kalangan elite
di berbagai golongan dan tingkatan dalam kehidupan publik.
Krisis
keteladanan sudah berlangsung sejak awal 1980-an yang terus meningkat justru
lewat 1998. Jangan lari dari kenyataan, sebelum meningkat pada apa keinginan
kita. Metode yang paling elementer, lakukan diagnosis untuk selanjutnya lakukan
terapi dan kurasi. Untuk mengatasi krisis budaya kita yang sudah cukup lama dan
parah tersebut, sudah dengan sendirinya disyaratkan adanya management of
crisis. Krisis multidimensi menuntut adanya kepemimpinan dan pengelolaan
yang luar biasa (extraordinary), seperti dilakukannya shock therapy
terhadap para koruptor kakap. Penindakan terhadap para koruptor miliaran ke
atas, mengapa begitu berbeda antara bumi dan langit antara di Indonesia dengan
di RRC misalnya?
Koruptor-koruptor
di Indonesia, jelas bukan pelaku-pelaku budaya yang terhormat apalagi
pemeluk-pemeluk agama yang beriman-bertakwa kepada Tuhan YME. Secara
verbal-ritual mereka mengaku diri berkebutuhan yang maha esa, namun dalam
praktik kehidupan sehari-hari mereka berkeuangan yang mahakuasa, menyembah
berhala uang dan kedudukan! Mereka tahu tata nilai dalam ajaran agama yang
mereka anut, juga tata nilai budaya dalam lingkungan masyarakat di mana mereka
hidup. Tapi karena kemiskinan rohani mereka, tata nilai agama dan budaya itu
tadi dengan sombongnya mereka lecehkan.
Para
koruptor adalah orang-orang yang miskin rohani tapi sombong materi (dan
posisi), yang tidak percaya diri kalau hidup tanpa jabatan dan kekayaan.
Sayangnya, sampai sekarang mereka masih juga berkeliaran dan bahkan
berkedudukan penting. Akibatnya, kualitas percaturan politik pun anjlok ke
titik hina. Dalam percaturan politik yang baik, berpolitik adalah demi
kepentingan umum mengabdi dan bahkan berkorban atas dasar keyakinan dan harga
diri.
Partai
politik adalah alat perjuangan bersama untuk mencapai cita-cita bersama, bukan
sekadar instrumen politik untuk kepentingan pribadi (klik). Percaturan politik
sekarang sudah bukan hanya merosot dari ideologi ke transaksi, melainkan ekses
dari ultrapragmatisme tanpa kendali moral dan etika. Percaturan politik
sekarang adalah lakonnya "aliran sesat dengan nabi palsu"-nya pula.
Macam-macam piala kejuaraan dipajang, bukan hasil bertanding tapi beli!
System
building yang
utuh-menyeluruh tidak boleh tercerabut dari kesejarahan dan kebudayaan kita
sendiri (tradisional kreatif), dilengkapi dengan modernisasi sikap-perilaku
yang terbuka dan ingin maju berupa ciptaan-ciptaan baru untuk hari ini dan
esok. Tentang kejujuran khususnya, tidakkah Sunda mengajarkan mipit amit
ngala menta dan Inggris pun mengatakan honesty is the best policy
(kejujuran adalah politik yang paling baik)?
Dalam
dunia yang senantiasa berubah dari zaman ke zaman, tidaklah mudah untuk
memisahkan mana yang unikum dan mana yang universum. Carilah nilai-nilai
tradisonal yang kiranya masih valid (berlaku), piwuruk sepuh yang
kiranya pula masih bertuah untuk menjadikan calon koruptor takut melakukan
kejahatan. Kalau orang-orang dulu patuh pada pamali, mengapa justru
orang-orang "gedean" sekarang tidak taat hukum dan etika? Sikap 'nrimo
yang defaitis, harus diganti dengan sikap perlawanan: maju tak gentar
membela yang benar (bukan yang bayar!)! Dalam bertanding, kalah itu tidak enak.
Menjadi menyakitkan kalau kalahnya itu karena dicurangi. Tapi, seorang ksatria
akan memilih cukup revanche dan bukannya vengeance (dendam).
Pejuang sejati, dia bisa saja dikalahkan tapi tidak bisa ditaklukkan!
Sebagai management
of conflict untuk selamat dari krisis kepemimpinan politik misalnya,
marilah kita lakukan evaluasi terhadap perwakilan rakyat (dan darah) sepanjang
kaitannya dengan sosiokultural. Merajalelanya money politics dalam
masyarakat miskin, berapa banyak sebetulnya kandidat pembayar dan pemilih
bayaran? Meskipun demikian, ada kalanya masih juga terdapat titik terang dalam
pemilihan top-eksekutif di berbagai tingkatan, di mana yang kuasa dan kaya
tidak selamanya menang. Uang itu memang bisa berbuat banyak, tapi tidak
segalanya. Ada pahlawan yang kalah dan bahkan gugur, tapi nilai-nilai yang
diperjuangkan menang dan terus hidup sepanjang masa.
Idealnya
memang, tokoh nasional itu harus terlebih dulu khatam sebagai tokoh
daerah. Jangan sampai berlarut-larut terjadi, dengan kedok "cinta
daerah" orang-orang pusat tuturubun ke daerah untuk membeli
legitimasi palsu. Untuk mengakhiri kecurangan dan kepalsuan seperti itu, selain
track-record perlu juga bahan dari psikiater tentang para pelaku politik
curang tersebut. Tanpa itu semua, komersialisasi suku bangsa dan agama akan
berlangsung terus.
Sebagai
solusi untuk mengakhiri keterpurukan mental-budaya sementara kalangan elite
masyarakat (bangsa), diperlukan resep praktik (buku pintar) bagi kalangan awam
dan rumusan akademis (teoretis) bagi kalangan cendekiawan. Pelaksanaannya
melalui gerakan masyarakat, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada.
Strategi kebudayaan sebaiknya mengandung renaissance (kebangkitan
kembali) dan kreasi-kreasi baru kebudayaan. Yang sentral adalah manusianya,
meningkatkan kualitas manusianya (the quality of man) untuk menghayati
persatuan dalam keragaman (unity in diversity). Alam yang dulu
memanjakan kita, sekarang sudah tidak lagi. "Wariskanlah mata air, dan
bukan air mata" bagi anak-cucu kita.
Masyarakat
yang beradab-budaya (civil society) hanya bisa terwujud melalui
pencerahan berpikir masyarakat dan pemberdayaan masyarakat, melalui gerakan
prodemokrasi dan antikorupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar