Sabtu, 11 Mei 2013

Krisis dan Strategi Kebudayaan Baru



Kebudayaan lokal menunjuk pada ciri-ciri mandiri suatu etnik dan/atau daerah tertentu. Sedangkan kebudayaan nasional terbentuk karena pengaruh dari dalam diri bangsa itu sendiri maupun dari luar. Kalau kata globalisasi paralel (bukan identik) dengan mondialisasi atau internasionalisasi, maka yang sifatnya urutan (tingkatan) adalah internasional (global, mondial), regional, nasional, dan lokal.
Propaganda Barat mengatakan bahwa dunia sekarang adalah global village (desa dunia) atau borderless states (negara-negara tanpa batas), nation states (negara-negara bangsa) pun digeser oleh multinational corporations (perusahaan-perusahaan multinasional). Dalam menghadapi penetrasi adab-budaya Barat yang menyusup ke mana-mana, diperlukan strategi kebudayaan nasional-lokal yang penuh perhitungan. Strategi budaya yang baik, lantas apa lagi kalau tidak terdiri dari sinergi (dan harmoni) antara tradisi dari dalam dengan modernisasi dari luar? Elite bangsa Indonesia umumnya, tidakkah cukup adaptif (menyesuaikan diri) dan bahkan imitatif (meniru) terhadap berbagai pengaruh yang datangnya hampir dari mana saja?
Dalam mencari pemecahan masalah, jangan lari darinya melainkan masuk dan selesaikan dari dalamnya. Kalau lari (atau menghindari) dari masalah, masalahnya sebetulnya tetap ada. Tantangan sekarang adalah, bagaimana mencari solusi (jalan keluar) bagi multikrisis (krisis multidimensi) yang sudah puluhan tahun menimpa bangsa Indonesia. Dari multikrisis tersebut, yang paling parah dari yang parah-parah adalah justru kualitas mental, moral, integritas (karakter) sementara kalangan elite di berbagai golongan dan tingkatan dalam kehidupan publik.
Krisis keteladanan sudah berlangsung sejak awal 1980-an yang terus meningkat justru lewat 1998. Jangan lari dari kenyataan, sebelum meningkat pada apa keinginan kita. Metode yang paling elementer, lakukan diagnosis untuk selanjutnya lakukan terapi dan kurasi. Untuk mengatasi krisis budaya kita yang sudah cukup lama dan parah tersebut, sudah dengan sendirinya disyaratkan adanya management of crisis. Krisis multidimensi menuntut adanya kepemimpinan dan pengelolaan yang luar biasa (extraordinary), seperti dilakukannya shock therapy terhadap para koruptor kakap. Penindakan terhadap para koruptor miliaran ke atas, mengapa begitu berbeda antara bumi dan langit antara di Indonesia dengan di RRC misalnya?
Koruptor-koruptor di Indonesia, jelas bukan pelaku-pelaku budaya yang terhormat apalagi pemeluk-pemeluk agama yang beriman-bertakwa kepada Tuhan YME. Secara verbal-ritual mereka mengaku diri berkebutuhan yang maha esa, namun dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka berkeuangan yang mahakuasa, menyembah berhala uang dan kedudukan! Mereka tahu tata nilai dalam ajaran agama yang mereka anut, juga tata nilai budaya dalam lingkungan masyarakat di mana mereka hidup. Tapi karena kemiskinan rohani mereka, tata nilai agama dan budaya itu tadi dengan sombongnya mereka lecehkan.
Para koruptor adalah orang-orang yang miskin rohani tapi sombong materi (dan posisi), yang tidak percaya diri kalau hidup tanpa jabatan dan kekayaan. Sayangnya, sampai sekarang mereka masih juga berkeliaran dan bahkan berkedudukan penting. Akibatnya, kualitas percaturan politik pun anjlok ke titik hina. Dalam percaturan politik yang baik, berpolitik adalah demi kepentingan umum mengabdi dan bahkan berkorban atas dasar keyakinan dan harga diri.
Partai politik adalah alat perjuangan bersama untuk mencapai cita-cita bersama, bukan sekadar instrumen politik untuk kepentingan pribadi (klik). Percaturan politik sekarang sudah bukan hanya merosot dari ideologi ke transaksi, melainkan ekses dari ultrapragmatisme tanpa kendali moral dan etika. Percaturan politik sekarang adalah lakonnya "aliran sesat dengan nabi palsu"-nya pula. Macam-macam piala kejuaraan dipajang, bukan hasil bertanding tapi beli!
System building yang utuh-menyeluruh tidak boleh tercerabut dari kesejarahan dan kebudayaan kita sendiri (tradisional kreatif), dilengkapi dengan modernisasi sikap-perilaku yang terbuka dan ingin maju berupa ciptaan-ciptaan baru untuk hari ini dan esok. Tentang kejujuran khususnya, tidakkah Sunda mengajarkan mipit amit ngala menta dan Inggris pun mengatakan honesty is the best policy (kejujuran adalah politik yang paling baik)?
Dalam dunia yang senantiasa berubah dari zaman ke zaman, tidaklah mudah untuk memisahkan mana yang unikum dan mana yang universum. Carilah nilai-nilai tradisonal yang kiranya masih valid (berlaku), piwuruk sepuh yang kiranya pula masih bertuah untuk menjadikan calon koruptor takut melakukan kejahatan. Kalau orang-orang dulu patuh pada pamali, mengapa justru orang-orang "gedean" sekarang tidak taat hukum dan etika? Sikap 'nrimo yang defaitis, harus diganti dengan sikap perlawanan: maju tak gentar membela yang benar (bukan yang bayar!)! Dalam bertanding, kalah itu tidak enak. Menjadi menyakitkan kalau kalahnya itu karena dicurangi. Tapi, seorang ksatria akan memilih cukup revanche dan bukannya vengeance (dendam). Pejuang sejati, dia bisa saja dikalahkan tapi tidak bisa ditaklukkan!
Sebagai management of conflict untuk selamat dari krisis kepemimpinan politik misalnya, marilah kita lakukan evaluasi terhadap perwakilan rakyat (dan darah) sepanjang kaitannya dengan sosiokultural. Merajalelanya money politics dalam masyarakat miskin, berapa banyak sebetulnya kandidat pembayar dan pemilih bayaran? Meskipun demikian, ada kalanya masih juga terdapat titik terang dalam pemilihan top-eksekutif di berbagai tingkatan, di mana yang kuasa dan kaya tidak selamanya menang. Uang itu memang bisa berbuat banyak, tapi tidak segalanya. Ada pahlawan yang kalah dan bahkan gugur, tapi nilai-nilai yang diperjuangkan menang dan terus hidup sepanjang masa.
Idealnya memang, tokoh nasional itu harus terlebih dulu khatam sebagai tokoh daerah. Jangan sampai berlarut-larut terjadi, dengan kedok "cinta daerah" orang-orang pusat tuturubun ke daerah untuk membeli legitimasi palsu. Untuk mengakhiri kecurangan dan kepalsuan seperti itu, selain track-record perlu juga bahan dari psikiater tentang para pelaku politik curang tersebut. Tanpa itu semua, komersialisasi suku bangsa dan agama akan berlangsung terus.
Sebagai solusi untuk mengakhiri keterpurukan mental-budaya sementara kalangan elite masyarakat (bangsa), diperlukan resep praktik (buku pintar) bagi kalangan awam dan rumusan akademis (teoretis) bagi kalangan cendekiawan. Pelaksanaannya melalui gerakan masyarakat, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada. Strategi kebudayaan sebaiknya mengandung renaissance (kebangkitan kembali) dan kreasi-kreasi baru kebudayaan. Yang sentral adalah manusianya, meningkatkan kualitas manusianya (the quality of man) untuk menghayati persatuan dalam keragaman (unity in diversity). Alam yang dulu memanjakan kita, sekarang sudah tidak lagi. "Wariskanlah mata air, dan bukan air mata" bagi anak-cucu kita.
Masyarakat yang beradab-budaya (civil society) hanya bisa terwujud melalui pencerahan berpikir masyarakat dan pemberdayaan masyarakat, melalui gerakan prodemokrasi dan antikorupsi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar